Rabu, 27 Juni 2007

Transformasi Guru Abad Learning Society


Dari sudut proses pembelajaran perkembangan dan perubahan masyarakat, seperti dikemukakan oleh Riel Miller (2003) dapat dibagi atas: (a) masyarakat agrikulutral, (b) masyarakat industrial dan (c) masyarakat pembelajar (learning society). Perubahan masyarakat ini berdampak pada proses pembelajaran. Misalkan, pada masyarakat agrikulutral, fungsi guru sangat menonjol dan jelas. Guru sangat dominan mengajar peserta-didik tentang berbagai ilmu pengetahuan dan sekaligus mempengaruhi perilaku siswa. Pada masyarakat industrial, dominasi peranan guru mulai berkurang. Dan pada era learning society, yang ditandai oleh kemajuan pesat teknologi informasi (internet, e-mail, website, animasi, VCD/DVD, berbagai software pendidikan) dan infranstruktur telekomunikasi (teleconference, e-learning, m-learning (mobile learning), yang mengakibatkan dominasi peranan guru dalam krisis. Era Learning Society telah memungkinkan peserta-didik dapat belajar segala ilmu pengetahuan kapan dan di mana saja, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan demikian pembelajaran berlangsung secara intensive.

Berbagai materi pembelajaran telah dapat diakses secara online, dengan animasi efektif yang membuat pemahaman atas konsep-konsep kompleks dan rumit menjadi lebih sederhana dan mudah. Dengan adanya kemajuan dalam teknologi WiFi dan tersedianya hotspot di mana-mana, maka peserta didik dapat belajar secara mobile, kapan dan dimana saja. Kini menjadi sebuah pertanyaan, kira-kira apa peranan guru pada era learning society, masyarakat pembelajar abad 21 ini? Dengan adanya animasi, video, dan tersedianya semua informasi di website secara 24 jam online; maka peranan tatap muka (kelas tradisional) sudah tidak begitu mutlak lagi. Itulah sebababnya pada abad learning society ini marak sekolah rumahan atau yang lebih dikenal dengan homeschooling.

Masyarakat kita mengalami transformasi yang sangat cepat, dan ini berdampak pada proses pembelajaran generasi modern. Dunia pendidikan juga dipaksa bertransformasi. Defenisi pernana guru perlu perumusan ulang. Kompetensi pedagogi dan keterampilan mentransfer pengetahuan mengalami perubahan menyeluruh. Misalnya, guru-guru dalam learning society dituntut untuk mampu men-delivery topik pembelajaran dalam bentuk animasi, film, game, multimedia yang interaktif, menarik dan bermutu tinggi. Mendesain buku-buku pembelajarannya secara menarik, mudah dipahami dan langsung dimengerti. Guru dituntut kompeten menuangkan pembelajarannya dalam buku-buku elektronik (e-book) yang dapat diakses oleh peserta-didiknya secara online selama 24 jam.

Bila peserta-didik sudah bisa belajar mandiri, kapan dan di mana saja, lalu apakah peranan sekolah-sekolah kita? Tentu saja peranan sekolah mengalami transformasi menyeluruh juga. Kini sekolah menjadi tempat generasi learning society berlatih menalar (reasoning ability), berlatih memperoleh skill berpikir kritis. Skenarionya kira-kira demikian. Setelah siswa mempelajari konsep-konsep pembelajarannya dari e-book, m-learning siswa datang ke sekolah untuk mempresentasikan gagasan dan ide-idenya. Guru membimbing siswa untuk menalar dan berpikir kritis. Jadi guru tetap memainkan peranan penting, tapi fungsinya kini mempromosikan keterampilan menalar (higher-order reasoning abilities). Para Penyelenggara Sekolah (pemerintah dan Yayasan) mengalami transforamsi peran, yakni meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan para guru. Hal ini akan meningkatkan kompetensi pedagogi dan penguasaan berbagai metode pembelajaran yang efektif. Termasuk penguasaan berbagai teknologi dalam proses pembelajaran.

Satu lagi peranan sentral para pendidik di sekolah adalah mempromosikan soft-skill bagi para siswanya. Peranan ini tidak dapat diambil alih oleh kemajuan Teknologi Informasi yang paling canggih sekalipun. Soft-skill yang meliputi nilai-nilai: kejujuran, penghargaan, sikap toleran, kemampuan mendengar, empati, kerjasama, sikap sopan dan santun dalam berprilaku, disiplin dan kontrol diri. Hal ini hanya dapat dipromosikan oleh para pendidik yang profesional. Peranan pendidik yang terakhir ini tidak mampu diambil alih oleh kemajuan teknologi. Maka keistimewaan sekolah-sekolah abad intensive learning society abad 21 ada dua: (a) kemampuan para pendidik menggunakan teknologi dalam pembelajaran; dan (b) kemampuan para pendidik mentransfer nilai-nilai kehidupan (living values) pada setiap peserta-didik yang belajar di sekolah tersebut.
Masyarakat kita sedang mengalami transformasi menyeluruh. Perubahan itu didorong oleh perkembangan Information Technology and Telecommunications (IT&T). Maka agar guru dan pendidik tetap ikut berperan dalam era Learning Society abad 21, mesti melakukan transformasi diri: (a) trampil menggunakan teknologi informasi dan (b) menjadi seorang pendidik, yang dari kata-kata, perilaku dan sikapnya dapat mentransfer nilai-nilai kehidupan (soft skill).




Rabu, 16 Mei 2007

Train the Trainer DISC Profile






APA ITU DISC PROFILE?

DiSC ® is the original, oldest, most validated, reliable, personal assessment used by over 50 million others to improve lives, interpersonal relationships, work productivity, teamwork, and communication!  Based on the 1928 work of psychologist William Moulton Marston.  The DISC Personal Profile System is personality behavioral testing profiling using a 4 dimensional model of normal behavior in an assessment, inventory, survey format in both self-scored paper or ONLINE versions. Kunjungi website: http://www.onlinedisc.com





Sabtu, 31 Maret 2007

Berlatih Memperoleh "Soft Skill Living Values"

Bandung, 30 Maret. Tiga puluh orang lebih trainer dari berbagai organisasi berlatih bagaimana membangun soft skill berbasis nilai-nilai kehidupan.

Jumat, 30 Maret 2007

Menyemaikan "Nilai Kehidupan" dalam Keluarga

Jakarta, 24 Maret 2007. Wanita Katolik RI menyelenggarakan seminar sehari tentang bagaimana menyemaikan nilai-nilai kehidupan dalam keluarga.

Kamis, 22 Maret 2007

Menciptakan Budaya Sekolah berbasis Nilai

Jakarta, 21 Maret 2007. Guru-guru dan karyawan SMAK 1 Penabur mengadakan seminar sehari, dengan topik "Menciptakan Budaya Sekolah berbasis Nilai." Pada sesi pertama seminar, para guru diajak untuk mengalami nilai-nilai yang ada di dalam dirinya. Sesi kedua membahas bagaimana keadaan masyarakat kita saat ini, dan kemungkinan penyebab berbagai permasalahan kekerasan yang terjadi dalam masyarakat. Inilah tantangan membangun budaya nilai.

Jumat, 09 Maret 2007

TTT Budaya Nilai/Corporate Culture

JAKARTA, 9 Maret 2007. Sebanyak 26 orang trainer dari berbagai institusi dari berbagai daerah (Yogyakarta, Sibolga, Pematangsiantar, dan Jakarta) telah mengadakan Train the Trainer bagaimana caranya menciptakan "budaya nilai" dalam institusi atau perusahaannya. Dalam training tersebut, para peserta diajak untuk memahami akar "nilai-nilai" yang mesti digali dari dalam diri setiap orang. Nilai itu sudah ada dalam diri kita, dan nilai itu tinggal sebagai potensi yang ada di dalam diri. Oleh karena itu, nilai perlu diwujutkan menjadi perilaku nyata.

Senin, 05 Maret 2007

Peran orang tua membantu anak berprestasi

Jakarta, 4 Maret 2007. Orang tua SMA Negeri 21 mengadakan seminar parenting selama dua jam, untuk menemukan apa saja peranan orang tua dalam membantu anak-anak berprestasi.